Ticker

6/recent/ticker-posts

Media Sosial, Media Massa, dan Media Pengetahuan



Riuh rendah media sosial dan media mainstream di Indonesia sedang mencapai fase yang kami pikir tidak bisa lagi jadi pegangan terpercaya. 

Inflasi informasi sedemikian tinggi membuat publik kurang bisa menyaring mana yang berbobot, dan mana yang sejatinya hanya busa, bahkan sampah belaka.


Jikalau bicara soal media sosial mungkin kita mahfum saja bahwa kepercayaan publik terhadap informasi di media sosial sangat rendah. Apalagi selepas kasus Facebook dengan Cambridge Analytica, atau Twitter dengan jutaan akun fake. Namun, ini kadang jadi anomali.

Pasalnya, walaupun tingkat kepercayaan publik rendah, pengaruhnya masih sangat besar, bahkan kadang terlalu kuat untuk mengabaikan kabar hoaks di media sosial. Walau sudah ada upaya preventif dari pemilik media sosial dengan melakukan penertiban, nyatanya informasi palsu masih saja jadi traffic yang cukup sering kita lihat (saya selaku penulis).

Sebuah riset Hootsuit soal media sosial menyebut bahwa kepercayaan publik terhadap Facebook turun atau anjlok 66% selepas kasus Cambridge Analytica--yang dikaitkan dengan proses politik di Amerika Serikat yang dimainkan oleh konsultan Rusia.

Dampaknya, para pengguna media sosial kembali mencari referensi informasi ke media jurnalistik tradisional atau yang dapat dipercaya. Hasil survei menyebutkan bahwa 71% orang setuju bahwa seharusnya media sosial memberikan dukungan kepada jurnalisme berkualitas.

Namun, seperti saya sebut di atas, media jurnalistik mainstream di Indonesia kurang bisa memanfaatkan peluang yang timbul. Media massa di Indonesia justru ikut larut jadi semacam 'media sosial' dengan menyebarkan rumor yang tidak terverifikasi, karena dituntut untuk mencapai target traffic user.

Memang ada media yang 'konservatif' namun tidak signifikan. Sebagian besar yang kami lihat, media dengan peringkat 100 besar Alexa sibuk menghasilkan informasi yang kurang bermutu secara jurnalistik. Soalnya mungkin sudah klasik, bahwa mereka sedang berebut klik pembaca, yang akan seiring sejalan dengan pendapatan iklan.

Padahal, dengan melihat kecenderungan yang ada saat ini, media massa yang mengandalkan cara kerja jurnalistik yang baik punya kesempatan untuk menjadi pilihan pembaca. Mungkin dalam jangak pendek ini kita belum akan melihat dampak dari kehidupan di media sosial yang penuh dengan chaos, caci-maki, informasi palsu, ujaran kebencian, dan sebagainya. Namun, ke depan, orang-orang yang benar manusia akan segera mencapai toleransi stresnya untuk mengonsumsi inflasi informasi di media sosial.

Pada akhirnya, mereka akan mengurangi jumlah informasi yang diterima via media sosial dan kembali mencari media yang dapat dipercaya untuk mendapatkan informasi. Karakter jurnalisme sebagai cara untuk menyampaikan informasi yang mengandung pengetahuan akan menolong napas media massa yang kini terdisrupsi oleh kehadiran media sosial.

Alahkah bijak jika media massa yang punya citra yang baik tidak menghancurkan dirinya sendiri dengan menyajikan informasi seperti media sosial, miskin verifikasi, penuh dengan judgment tanpa dasar, dan kehilangan pegangan kebenaran. Seharusnya, menjadi yang terpercaya lebih penting daripada menjadi yang tercepat atau yang terbanyak. Di situlah kelak harga sebuah berita akan tampak.

Menjual Pengetahuan

Kami menyarankan media massa saat ini untuk kembali kepada basis proses kerja lama mereka, yang sedikit lambat namun menghasilkan informasi berbobot. Jika mereka mau tantangan lebih, segera ubah dari sekadar menyajikan informasi menjadi menawarkan pengetahuan kepada pembaca.

Dalam ilmu knowledge management, ada namanya DIKW pyramid, yaitu suatu hierarki terkait dengan manajemen pengatahuan. DIKW adalah singkatan dari Data, Information, Knowledge, dan Wisdom. kebanyakan media massa masih bermain di dua level bawah, yakni data dan informasi. Sangat jarang yang sudah mencapai knowledge dan wisdom, dua hal yang sangat dibutuhkan manusia saat ini.

Pada dasarnya, manusia butuh semua level. Mereka butuh data, butuh informasi, butuh pengetahuan, dan tentu butuh kebijaksanaan. Level di atas tidak mungkin ada tanpa level di bawahnya, namun level bawah belum tentu butuh level yang lebih tinggi.

Kami menyarankan kepada media massa saat ini untuk bisa mengambil dua level di atas, untuk memberikan nilai lebih kepada pembaca. Buatlah berita yang tidak sekadar berisi data dan informasi, tapi telah mencapai posisi pengetahuan bagi pembaca. Jika memungkinkan, sajikan kebijaksanaan--walaupun ini tentu sangat berat, butuh lebih dari sekadar sekumpulan wartawan dan editor.

Ke depan, dengan semakin kuatnya peran artificial intelligence atau kecerdasan buatan yang akan dengan mudah memproses data dan informasi untuk disajikan kepada pembaca, maka peran wartawan semakin berkurang. Wartawan akan lebih banyak dituntut menyajikan kemampuan kreatifnya daripada sekadar merekam dan mencatat ucapan pejabat, politisi, atau sekadar menyalin data-data ekonomi dan bisnis. Semua pekerjaan itu sudah digantikan oleh robot atau AI, dan sudah terjadi di media seperti Bloomberg hingga The New York Times.

Jika tak segera berubah, media lama di Indonesia akan segera tergerus oleh media-media baru, yang mungkin mempekerjakan robot dan mesin untuk mencetak berita--yang bahkan jauh lebih akurat menyalin data dan merekam informasi.

Kami yakin, jurnalisme akan tetap ada, bahkan semakin dibutuhkan, tetapi dalam bentuk yang lebih tinggi daripada sekadar menyodorkan data dan informasi. Ini karena dalam proses jurnalisme itu sendiri terkandung proses riset untuk menjaga tingkat presisi dan mencapai kesimpulan yang akurat. Dan lebih dari itu, terkandung proses kreatif untuk menaikkan level berita dari sekadar informasi, menjadi pengetahuan. Untuk wisdom, mungkin bisa diproses dalam tataran individual para penyerap pengetahuan.

Semoga, ke depan kita mencapai tahap itu. Dan media dengan nilai pengetahuan akan punya harga diri, dan pasti bisa dijual.
Post Navi

Posting Komentar

0 Komentar